Monday, November 8, 2010

Simbol Kebudayaan

Kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, tidak selamanya dapat berupa hal yang nyata, dengan kata lain sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan yang dapat diraba dan disentuh secara langsung, tetapi ada budaya yang dihasilkan manusia secara tersembunyi, atau hanya terwakili oleh sesuatu saja. Dengan begitu, untuk menyebutkannya, ia hanya terwakili dan untuk menjelaskannya barulah ia bisa terungkap secara gamblang dari apa yang dimunculkannya. Manusia dengan segala ornament yang tersembunyinya itu, menyebabkan Ernst Cassirer (1944) menyebut manusia sebagai animal simbolicum (dalam Herusatoto, 2000: 9; Daeng, 2000: 80), dan karena simbol itulah yang membedakan manusia dengan binatang-binatang yang lain (ibid). Herusatoto menjelaskan pendapat Cassirer tentang animal simbolicum itu bahwa, “… manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai simbol” (opcit). Banyak fakta yang hadir dalam dunia ini (fenomena), tetapi menyembunyikan realitas sesungguhnya yang ada dibalik fakta tersebut (noumena). Fakta-fakta yang muncul tersebut menuntut kita untuk memahaminya dan memberikan interpretasi terhadapnya. Penekanan dari penjelasan Herusatoto tentang animal simbolicum-nya Cassirer, yaitu manusia tidak pernah mendapatkan penjelasan secara panjang lebar dalam kehidupannya didunia secara langsung, hanya saja perwakilan dari apa yang dialaminya secara singkat dan sederhana.
Permasalahan dalam pengungkapan sesuatu terkadang tidak didefinisikan dengan jelas dalam penyebutannya. Sehingga penggunaannya pun tidak sesuai dengan objek penyebutannya. Tanda, simbol, ikon dan kode, merupakan kata yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu noumena atau realitas yang melatarbelakangi terjadinya fenomena.
Tanda dan simbol
Charles Sanders Peirce (pendiri semiotika di Amerika) yang mendefinisikan tanda, dalam kutipan John Fiske dari Zeman (1977) mengatakan,
“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya”. (dalam Fiske, 2004: 63).
Tanda yang disebutkan peirce ini, mengacu pada sesuatu yang ada diluar dari tanda itu sendiri (objek). Tanda yang dipahami seseorang tidak terbatas pada satu pemahan saja, pemahaman tanda akan dapat berkembang sesuai dengan pengalaman yang pernah didapatkan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Kemudian Peirce membagi jenis tanda sesuai dengan objeknya berdasarkan penjelasan dari definisi diatas:
“… icon (ikon), index (indeks) dan simbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang besifat kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contohnya yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang bisa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbiter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat”. (dalam Sobur, 2004: 41-42)
Pembagian jenis tanda diatas meletakkan posisi ikon, index dan simbol sebagai bagian dari tanda. Dan yang membedakan penyebutan dari ketiga jenis tanda tersebut adalah sifat dari objeknya, ikon disebutkan jika hubungannya memiliki kemiripan, indeks disebutkan jika ada hubungan kausal antara tanda dan objeknya, sedangkan simbol disebutkan jika hubungan antara tanda dan objek yang bersifat arbiter.
Dalam ilmu linguistik, tanda yang diidentifikasi oleh Ferdinand de Saussure yaitu, “… setiap tanda tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda)”. (Ibid: 46). Sehingga definisi Saussure yang dikutip Sobur dari Bartens (2001) untuk memahami tanda yaitu :
“Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah ‘bunyi yang bermakna’ atau ‘coretan yang bermakna’. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa”. (Ibid).
Yang disebutkan Saussure disini lebih pada penekanan akan kedua elemen tanda yaitu penanda atau signifier dan petanda atau signified. Penanda adalah objek material, yaitu sesuatu yang menjadi objek tanda atau fakta yang hadir di depan seseorang atau dengan kata lain bahwa petanda memiliki sifat yang nyata, sedangkan petanda adalah objek mental yang merupakan penjelasan atau konsep yang menjelaskan tentang objek material. Penjelasan tersebut terletak pada tataran ide yang sifatnya abstrak.
Pembagian jenis tanda oleh Peirce yaitu ikon, indeks dan simbol tak lepas dari dua eleman tanda yang disebutkan oleh Saussure. Begitu juga dengan kode, yang disebutkan Fiske sebagai sistem pengorganisasian tanda (2004: 91).
Dengan uraian diatas kita dapat menyebutkan apa yang mencakup dalam penyebutan simbol dan membedakannya dari tanda-tanda yang lain. Dan dalam sub bab ini akan lebih jauh membahas tentang simbol dari beberapa pemikir simbolik.
Simbol Kebudayaan dalam Antropologi
Pemahaman tentang simbol yang digunakan oleh Spradley dalam wawancara etnografisnya, menyebutkan “Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu”. (Spradley, 2007: 134). Yang dimaksudkan oleh Spradley disini adalah segala peristiwa yang terjadi atau gejala-gejala yang ada pada saat melakukan wawancara, seperti pakaian yang digunakan dan mimik/ekspresi wajah sampai pada gerakan-gerakan yang dikeluarkan informannya memiliki makna simbolik. Selanjutnya Spradley menyebutkan tiga unsur yang selalu terlibat dalam simbol dan mendasari semua makna simbolik, yaitu (1) simbol itu sendiri, (2) satu rujukan atau lebih, dan (3) hubungan antara simbol dan rujukan. (Ibid). Unsur yang pertama berdasarkan dengan definisi yang disebutkan Spradley yang meliputi apapun yang kita alami, unsur yang kedua adalah benda yang menjadi rujukan simbol yang berupa apapun yang dapat dipikirkan dalam pengalaman manusia misalnya pohon, binatang, ataupun mahkluk mistis yang belum pernah ada. Unsur yang ketiga, hubungan antara simbol dan rujukan dimana hubungan ini merupakan hubungan yang berubah-ubah, yang didalamnya rujukan disandikan dalam simbol itu. Jika penyandian itu terjadi, maka kita berhenti untuk memikirkan simbol itu sendiri dan memfokuskan perhatian kita pada apa yang dirujuk oleh simbol itu. (Ibid).
Selain Spradley, pemikir tentang simbol lainnya adalah Victor Turner yang pernah melakukan penelitian tentang ritus peralihan pada masyarakat Ndembu-Afrika Tengah. Pendapat Turner tentang definisi simbol yaitu:
“sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran”. (dalam Winangun, 2000: 18).
Dari definisi itu, Turner lebih menjelaskan perbedaan antara simbol dan tanda seperti tabel yang ada dibawah ini,
• Simbol merangsang perasaan seseorang.
• Tidak mempunyai sifat merangsang.
• Simbol berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan.
• Tanda tidak berpartisipasi dalam realitas yang ditandakan.
• Cenderung multivokal.
• Tanda univokal.
(Ibid: 18-19).

Ada efek psikologis yang dimunculkan simbol, ketika seseorang berhadapan dengan tatanan simbol maka seluruh intensi pikirannya akan mengulas kembali pengalaman yang pernah dilalui untuk menafsirkan simbol yang ada pada saat itu juga. Simbol berpartisipasi dalam arti, kekuatan dan keutamaan yang ditampilkan oleh simbol-simbol, menurut Turner pada hasil penelitiannya yaitu simbol-simbol yang digunakan dalam ritus-ritus masyarakat Ndembu dilihat sebagai sesuatu yang hidup, simbol terlibat dalam proses hidup sosial, kutural dan religius suku Ndembu. (Ibid: 19). Dan simbol yang sifatnya multivokal menunjukkan satu simbol dapat memiliki arti lebih dari satu atau menunjukkan banyak hal, tidak berfokus pada satu pengertian yang pokok saja. Ketiga hal ini yang tidak dimiliki oleh tanda, sehingga turner membedakan simbol dari tanda.
Ada 3 ciri khas simbol yang disebutkan oleh Turner yaitu (1) Multivokal dimana setiap simbol memiliki arti lebih dari satu pemahaman, (2) Polarisasi Simbol karena simbol memilki arti yang banyak maka akan muncul arti-arti yang bertentangan atau berbeda antara kutub fisik atau kutub indrawi dan kutub ideologis atau normatif yang kemudian kutub pertama dinamakan kutub orektif yang mengungkapkan level bawah atau apa yang diinginkan dan kutub kedua dinamakan kutub normative yang mengungkapkan level atas atau apa yang diwajibkan, (3) Unifikasi atau penyatuan dimana simbol-simbol dengan arti yang terpisah akan memungkinkan adanya penyatuan karena sifat-sifatnya yang umum dan mirip (Ibid: 19).
Dari analisa data ritus ritual masyarakat Ndembu yang didapatkan Turner, simbol kemudian dibagi kedalam 3 dimensi yang merupakan sumbangan besar Turner terhadap teori simbol, yaitu:

Dimensi Eksegetik, Eksegesinya meliputi penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti. Eksigesis itu terdiri dari interpretasi masing-masing simbol ritual atau bisa mengambil cerita-cerita naratif (misalnya mitos). Ada 3 dasar arti dari eksegetik simbol :
1. Dasar Nominal adalah dasar yang memberikan nama pada simbol atau sekurang-kurangnya dari mana simbol itu berasal.
2. Dasar Substansial terdiri atas sifat-sifat alamiah.
3. Dasar Arti Faktual ditampilkan dengan objek simbolik, karya seni manusia sendiri dan digunakan dalam konteks ritual. Dasar ini dihubungkan dengan tujuan ritus diadakan.
Dimensi Operasional, Dimensi ini meliputi tidak hanya penafsiran yang diungkapkan secara verbal, tetapi juga apa yang ditujukan pada pengamat dan peneliti. Dalam hal ini, simbol perlu dilihat dalam rangka apa simbol-simbol ini digunakan : kegembiraan, kesedihan, ketakutan. Dengan melihat dimensi operasionalnya orang mengenal dalam rangka apa simbol-simbol itu digunakan.
Dimensi Posisional, Sebagian besar simbol-simbol itu multivokal. Artinya, mempunyai banyak arti. Disamping itu simbol-simbol juga memiliki relasi satu dengan yang lainnya. “Simbol-simbol mempunyai dimensi posisional” berarti bahwa arti simbol-simbol itu berasal dari relasinya dengan simbol-simbol lain. Beberapa arti simbol, dengan demikian menjadi relevan. Pada ritus tertentu salah satu simbol ditekankan, sedangkan pada ritus yang lain tidak ditekankan meski dipakai. Semua ini berhubungan dengan tujuan ritus diadakan. (Ibid: 19-20).

Ketiga dimensi arti simbol yang dirumuskan oleh Turner ini, dianggap sebagai pembetuk dasar arti simbol. Dimensi eksegetik akan menerangkan arti simbol dari penggunanya mulai dari asal penamaan, bagaimana sifat alamiah dari simbol tersebut dan mengapa simbol tersebut digunakan yang akan berkaitan dengan dimensi operasinal. Dimana dimensi operasional ini menerangkan dalam rangka apa simbol ini digunakan, perasaan/kondisi apakah yang akan diungkapkan oleh simbol ini. Dimensi posisional menerangkan bagaimana hubungan/relasi antara simbol yang satu dengan simbol-simbol yang lainnya, yang dimunculkan oleh penggunanya.

Sebagai kesimpulan dari berbagai penjelasan diatas, yaitu setiap sisi kehidupan manusia dikuasai oleh ada system symbol yang selalu bermain tanpa banyak penjelasan. Tubuh (manusia itu sendiri), ide/pengetahuan dan tingkahlaku, sampai pada apa yang dihasilkan manusia menjadi rujukan untuk menafsirkan bentuk-bentuk SIMBOL.


Pustaka :
Daeng, Hans J. 2000. “MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN: Tinjauan Antropologis”. Pustaka pelajar. Yogyakarta.
Herusatoto, Budiono. 2000. “SIMBOLISME DALAM BUDAYA JAWA”. Cetakan ke-3. Hanindita Graham Widia. Yogyakarta.
Fiske, John. 2004. “CULTURAL AND COMMUNICATION STUDIES: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif”, dalam Idi Subandy Ibrahim (Ed.). Jalasutra. Bandung.
Sobur, Alex. 2004. “SEMIOTIKA KOMUNIKASI”. Cetakan Ke-2. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Spradley, James P. 2007. “Metode Etnografi”. Edisi Kedua. Tiara wacana. Yogyakarta.
Winangun, Y. W. Wartaya. 1990. “MASYARAKAT BEBAS STRUKTUR: Liminalitas Dan Komunitas Menurut Victor Turner”. Kanisius. Yogyakarta.

Simbol Kebudayaan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Roni

0 comments: