Saturday, September 25, 2010

Tubuh Sebagai Media Ekspresi Gaya Hidup

Info Lowongan Kerja

Kota yang menjadi pusat dari keglamoran, menyiapkan berbagai fasilitas dan akomodasi bagi para kaum urban yang senantiasa siap menunjukkan atau memamerkan segala bentuk hasil perjuangannya bahkan sampai pada tingkat yang maksimal atas tubuhnya, sehingga setiap individu memiliki potensi dalam ajang kompetensi untuk memperebutkan citranya masing-masing. Dengan demikian tubuh sudah menjadi komoditi dalam kontestasi tersebut. Terlebih lagi pada saat media menampakkan ikon tubuh dalam sebuah iklan, misalkan saja iklan sabun LUX yang menampakkan sosok tubuh yang (dianggap) sempurna dari Tamara Bleszinsky, seperti yang diulas oleh Prabasmoro (2003: 67-86) dalam bukunya “BECOMING WHITE”. Didalam buku itu menjelaskan, bagaimana tubuh perempuan yang cantik, putih dan feminine yang ditampilkan pada sampul depan sebuah tabloid dan dalam iklan sabun, seakan-akan menunjukkan bahwa seperti inilah sosok tubuh perempuan yang ideal. Disitulah media massa (tabloid dan iklan) menunjukkan tubuh perempuan sebagai titik fokus dari iklan tersebut. Prabasmoro pun menunjukkan lebih jelas lagi dimana tubuh merupakan komoditi yang lebih khusus lagi komoditi bagi media massa.
Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mempersepsikan dan memperlakukan tubuhnya sendiri. Persepsi yang dimiliki oleh pemilik tubuh akan menjadi acuan bagaimana seseorang untuk menindaki tubuhnya, ingin dibentuk seperti apa, dipakaikan perhiasan apa dan akan dibawa kemana. Sosok tubuh selalu bergandengan pada permasalahan tentang penampilan, maka dari itu tubuh yang telah dipersepsikan oleh pemiliknya akan dikelola sedimikian rupa sampai menuju pada penampilan yang diharapkan. Jika merujuk pendapat Mike Featherstone bahwa “..., karakteristik tubuh kini dipandang tak ubahnya seperti plastik” (Mary F Rogers, 2009: 154), yang dimaksudkan kutipan tersebut, bahwa tubuh yang kita miliki dapat dipermak sedemikian rupa dengan banyak cara, seperti berolahraga, dipoles dengan kosmetik yang memiliki kandungan kimia tertentu atau dengan jenis perawatan tertentu, sampai dengan menggunakan teknologi canggih seperti operasi atau menggunakan laser yang tidak meninggalkan bekas sedikit pun sesuai dengan yang diharapkan. Dengan seperti itu, banyak orang mengusahakan agar tubuh yang dimilikinya dapat memiliki potensi atau performa dimata publik. Keinginan untuk menambah dan memaksimalkan performanya, tubuh tidak lagi terbungkus dengan mitos dan dogma-dogma yang sangat ditakuti masnusia yang ada pada saat ini. Rogers menganggap “mata adalah indra yang utama dan tubuh adalah focus terpenting” (Ibid). Tubuh dalam ruang publik sudah menjadi fokus utama buat setiap mata yang tidak bisa kita larang walaupun tubuh itu adalah milik yang paling pribadi dan sekalipun ia terbungkus rapi oleh pakaian dan segala bentuk kain yang melilitinya.
Dalam pengantarnya, Irwan Abdullah menyebut pendapat Weber tentang tubuh pada pemikiran modernis bahwa “modernitas sebenarnya menggiring tubuh kearah pengukuran mekanis dan rasionalitas” (dalam Kadir, 2009: ix). Disini Weber melihat tubuh yang diperlakukan memiliki rasionalitas, contohnya melakukan diet yang kebanyakan dilakukan oleh kaum perempuan, secara ekonomi tindakan ini dapat menghemat pengeluaran dengan kata lain mengurangi makanan yang dikonsumsi dari kebiasaan normalnya sehingga pengeluaran untuk biaya makanan bisa berkurang dan secara mekanis, dengan berdiet tubuh akan terbentuk secara langsing sehingga pemiliknya dapat bergerak dengan gesit.
Artikel Nuraini Juliastuti yang pernah termuat dalam Newsletter KUNCI (1999) tentang studi tubuh yang mengatakan bahwa kajian yang membahas tentang tubuh sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Sedangkan Ilmu Antopologi menjadikan tubuh sebagai bahan kajian dimulai sejak awal abad ke-19 (jika merujuk perkembangan Ilmu Antropologi, abad ini merupakan fase pertama atau awal mula kemunculan Ilmu Antropologi (Koentjaraningrat, 1990: 1-6) dimana tubuh dikaji secara fisiklis yaitu dengan menguraikan ciri-ciri fisik dari manusia pada saat itu) dan kemudian berkembang dengan melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat. Begitu juga yang disebutkan oleh Abdullah, bahwa tubuh yang menjadi topik kajian Ilmu Antropologi dikembangkan oleh Arnold Van Genep dalam bukunya “The Rits Of Pasage” (1909), Genep, “melihat tubuh dari sisi ritus peralihan dan implikasi tubuh secara fisik ketimbang secara sosial” (dalam Kadir, 2009: x). Setelah Genep, hampir dua dekade berikutnya muncullah Marcell Mauss dengan bukunya “Techniques Of The Body” (1936), “melihat tubuh secara teknis, dengan kata lain, setiap gerak tubuh seperti berjalan, beristirahat, menari, melompat, melempar, makan, minum, mempunyai perbedaan berdasarkan latar belakang gender, usia dan kebudayaan” (Ibid). Selanjutnya Juliastuti juga menjelaskan dalam artikelnya pendapat Mauss tentang tubuh, yaitu:
“cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing”. (Juliastuti, 1999)
Walaupun sejak awal studi tubuh ini digunakan hanya untuk melihat manusia dengan menguraikan ciri-ciri fisiknya saja, hasil yang diperoleh dari para ahli antropologi yaitu mereka dapat mengelompokkan manusia dari ciri-ciri fisiknya yang lebih kita kenal dengan ras. Perkembangan yang diberikan oleh Genep tentang analisa ritus peralihan yang dialami oleh individu dalam kolompok masyarakat yang ada didunia. Ritus peralihan ini berkaitan dengan peralihan status, peralihan dimana orang memasuki tahap baru dalam kehidpannya seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan pemakaman. Ritus itu digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam masa tahapan tersebut (Winangun, 1990: 32).
Pemikiran Foucault tentang tubuh yang dapat dikendalikan/dikontrol oleh pengaruh pemikiran dari zaman Yunani dan Romawi pada 3 abad sebelum kelahiran Kristus sampai sekitar 2 – 3 abad setelah kemangkatan Kristus (Suyono, 2002: 444). Dimana tubuh bagi kedua bangsa ini menjadi sorotan penting (terlebih pada dunia seni rupa) yang menampilkan patung-patung tubuh yang hampir telanjang (yang sebagian tubuhnya hanya terbalut sehelai kain pada sosok tubuh yang menjadi objek patung tersebut). Uraiannya tentang tubuh diawali dengan melihat seni pengendalian tubuh kedua bangsa tersebut. Setiap individu dalam pergumulannya bersama dengan individi-individu lain atau didalam masyarakat, dituntut untuk memiliki etika yang di istilahkan Foucault Epimelia Heaufau (dari bahasa yunani kuno yang bila diterjemahkan dalam bahasa Inggris yaitu taking care of one’s self) yaitu kewaspadaan seseorang akan penjagaan diri sendiri. Kewaspadaan yang dimaksud oleh kata-kata itu bukan berarti kewaspadaan yang narcisistik (pemujaan terhadap diri sendiri), tetapi sikap mawas diri atau mawas tingkah laku dan penuh perhatian seseorang terhadap sesuatu yang dikerjakan (ibid: 445 – 446). Kedua kata tersebut digunakan kepada seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjaga atau memperhatikan tingkah lakunya dalam segala hal atas pekerjaannya. Inilah sikap yang dituntut oleh masyarakat Yunani dan Roma pada kisaran waktu tersebut, yang dianggap sebagai sesuatu yang terhormat dan bermoral jika memiliki kemampuan tersebut. Untuk menuju Epimelia heaufau individu-individu Yunani dan Roma diarahkan pada aktifitas yang disebut askesis atau yang disebut Foucault sebagai pelatihan bagi diri sendiri, dari diri sendiri untuk mencapai suatu tataran diri yang terkontrol (Ibid: 447). Selanjutnya untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan epimelia heaufau mereka diarahkan pada pemahaman akan problematika aphrodisia (segala tindakan, gerak, sikap, sentuhan atau kontak yang menghasilkan suatu kenikmatan, khususnya kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh (Ibid: 449 – 450). Dengan melakukan askesis dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Yunani dan Roma mampu untuk mengontrol luapan aphrodisianya.
Kutipan-kutipan dari hasil pemikiran Foucault diatas, menerangkan bahwa tubuh dapat dikontrol dan diawasi sesuai dengan pemahaman pengetahuan akan baik dan buruk, bermoral dan hina dalam konteks lokal. Pengendalian tubuh yang dilihat oleh Foucault membuktikan bahwa eksistensi tubuh secara individual dalam konteks lokalitas dapat dipengaruhi oleh budaya.
Penjelasan Foucault diatas, juga berhubungan dengan pemikiran tentang tubuh sosial dari Athur Frank yang mengembangkan teorinya atas hasil pemikiran Bryan S. Turner tentang tubuh, dimana tubuh memiliki empat dimensi karakteristik :
“Tubuh disiplin yakni tubuh yang diawasi dan diatur (control body); tubuh bercermin yakni tubuh yang melakukan konsumsi (desire body); tubuh dominan yakni tubuh yang mempunyai komando, karisma dan kekuasaan (other relatedness body); dan tubuh berkomunikasi (self relatedness body) yakni tubuh yang menjadi medium dalam bentuk kesadaran transenden, seperti tatkala kita melakukan tindakan ritual secara berulang” (Frank dalam Kadir, 2009: 29).
Dimensi yang pertama yaitu pendisiplinan (control body), dimensi ini yang berkaitan dengan pendapat Foucault yang bertujuan untuk menghasilkan kemudahan tubuh dalam mobilitasnya. Tubuh diasumsikan selalu berada pada kepatuhan kedisiplinan atas segala aturan-aturan (ibid: 32), dimana aturan tersebut mengikat masyarakat dalam hal moralitasnya akan segala tindakan dan prilaku atas tubuh dari setiap anggota masyarakatnya. Dimensi kedua yaitu desire body yang menyangkut tentang hasrat/keinginan untuk menciptakan/memproduksi, membatasi dan menghilangkan identitas diri dari segala konsumsinya tanpa kata akhir. Dimensi ketiga yaitu other relatedness body, berkaitan dengan hal yang berada dilluar dari individu atau ketika individu berada dalam ruang publik. Ketika seorang individu melakukan aktivitasnya didalam masyarakat maka ia harus mengikuti aturan yang ada dalam masyarakat, seperti yang dicontohkan oleh Kadir, ketika individu tersebut memakai pakaian seragam untuk pekerjaannya, maka identitas individulnya akan hilang dan berganti dengan identitas kolektif. Dimensi yang keempat yaitu self relatedness, berkaitan dengan gaya yang dimunculkan sesuai dengan hasil dari kreasi sendiri dengan komunikasinya terhadap lingkungan sosialnya.
Tampak dari beberapa ulasan yang ada diatas bahwa tubuh yang dimiliki oleh setiap orang mendapatkan pendisiplinan yang dikonstruksi oleh manusia itu sendiri melalui budaya yang mereka pahami sendiri-sendiri. Dengan seperti itu, beberapa pandangan tentang tubuh diatas menjadi acuan sehingga seseorang menentukan untuk memberikan aksesoris pada bagian tubuhnya, salah satu contoh aksesoris yang dipakai yaitu tattoo. Jika padangan setiap orang sama tentang tubuh yang mereka miliki, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi, 1) semua orang akan memiliki tattoo dan 2) semua orang tidak akan memiliki tattoo. Tetapi pemahaman dan cara pandang setiap orang dalam memaknai tubuhnya sendiri berbeda-beda maka berbeda pula pilihan-pilihan yang muncul dalam fenomena yang ada dimasyarakat kita.


DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1990. “PENGANTAR ILMU ANTROPOLOGI”. Cetakan ke-14. PT. Rhineka Cipta. Jakarta.
Kadir, Hatib Abdul. 2009. “BERGAYA DI KOTA KONFLIK: Mencari Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda”. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2004. “BECOMING WHITE: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globaslitas dalam Iklan Sabun”, dalam Kurniasih (ed.). Bandung. Jalasutra.
Rogers, Mary F. 2009. “BARBIE CULTURE: Ikon Budaya Konsumerisme”, dalam Ayi A. H. (ed.). Relief. Jogyakarta.
Suyono, Seno Joko. 2002. “TUBUH YANG RASIS: Telaah Kritis Michel Foucault Atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa”. Yogyakarta. Lanskap Zaman dan Pustaka Pelajar.
Winangun, Y. W. Wartaya. 1990. “MASYARAKAT BEBAS STRUKTUR: Liminalitas Dan Komunitas Menurut Victor Turner”. Kanisius. Yogyakarta.


Internet :
Juliastuti, Nuraini. 1999. “STUDI TUBUH”. http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi _tubuh.htm. Termuat di newsletter KUNCI No. 1 Juli 1999. Diakses pada tanggal 8 Januari 2009, pukul 14.29.

Tubuh Sebagai Media Ekspresi Gaya Hidup Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Roni

0 comments: